Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 6 Januari lalu telah menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk waspada terhadap penyakit avian influenza (flu burung).
Yudhi Pramono, Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, mengatakan SE tersebut dikeluarkan sebagai respon atas meningkatnya kasus flu burung di beberapa negara.
Karena itu, SE tersebut diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi penyebaran flu burung, termasuk memastikan kesiapsiagaan semua pihak terkait di seluruh Indonesia.
“Kita harus terus waspada terhadap potensi penyebaran flu burung. Langkah pencegahan yang dilakukan sejak dini adalah kunci untuk melindungi masyarakat,” kata Yudhi.
Ia menjelaskan, Indonesia masih merupakan daerah endemis flu burung pada unggas, dengan virus jenis Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) yang terus bersirkulasi.
Laporan dari WHO, FAO, dan WOAH pada Desember 2024 mencatat peningkatan kasus flu burung pada mamalia di berbagai negara.
SE tersebut memberikan panduan kepada dinas kesehatan di tiap daerah hingga rumah sakit agar bisa melakukan penguatan sistem surveilans berupa pemantauan kasus, peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan dan laboratorium untuk deteksi dini, serta kolaborasi lintas sektor menggunakan pendekatan ‘One Health’.
Masyarakat juga diimbau untuk berperan aktif dalam pencegahan dengan menerapkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Misalnya, menghindari kontak langsung dengan unggas yang sakit atau mati mendadak, melaporkan kejadian tersebut ke dinas peternakan setempat, serta segera memeriksakan diri jika mengalami gejala seperti demam, batuk, atau sesak napas.
“Kami yakin dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat, potensi penyebaran flu burung dapat diminimalkan, sekaligus memastikan kesehatan publik tetap terjaga,” kata Yudhi.
Adanya perubahan genomik
Terkait flu burung tersebut, menurut Prof Tjandra Yoga Aditama, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, yang menjadi bagian dari fokus SE tersebut adalah analisis pertama Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) tahun 2025 menunjukkan adanya kasus H5N1 (Clade 2.3.4.4b) di Amerika Serikat.
Terangnya, dalam 9 bulan terakhir, tercatat 66 kasus pada manusia di Amerika Serikat, mayoritas pekerja peternakan dan perdagangan. Salah satu kasus fatal terjadi pada seorang berusia 65 tahun dengan komorbiditas, yang terpapar dari unggas non-komersial dan burung liar.
Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat melaporkan adanya perubahan genomik pada kasus di Louisiana yang berpotensi meningkatkan kemampuan virus H5N1 menginfeksi saluran napas atas manusia.
“Mutasi ini, jika menetap, bisa meningkatkan risiko penularan antar manusia. Karena itu, langkah pencegahan agar mutasi tidak menetap, serta pencegahan proses spillover antara unggas, hewan, dan manusia, menjadi sangat penting,” terangnya.
Di Amerika Serikat, jutaan unggas dan hewan di 16 negara bagian sudah terinfeksi H5N1, yang digolongkan sebagai highly pathogenic avian influenza virus (HPAI). Lebih dari 3.200 analisis genom telah dilakukan.
Di Indonesia, kata Prof Tjandra, penting bagi peternakan untuk waspada terhadap H5N1. Tak kalah pentingnya, juga mengadakan analisa dan surveilans tentang kemungkinan H5N1 pada hewan di negara kita pula.
“Selain analisis pada hewan, ini juga menjadi waktu yang tepat untuk memperkuat implementasi konsep One Health, yakni upaya bersama memahami dan menangani interaksi antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
“Dengan pendekatan ini, diharapkan SE tersebut dapat memberikan dampak signifikan terhadap penanggulangan ISPA di Indonesia, termasuk pencegahan flu burung,” paparnya.
Dalam publikasi GISAID terbaru tentang H5N1 itu, juga disinggung pentingnya kesiapan global untuk akses vaksin dan antiviral bagi manusia maupun hewan. Peningkatan kemampuan deteksi, respons, dan pengendalian wabah sangat krusial untuk mencegah H5N1 menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang lebih besar di masa depan.