Site icon aviNews, la revista global de avicultura

Kementan tetapkan harga jual minimal ayam pedaging hidup

Escrito por: aviNews Indonesia
PDF

Kementerian Pertanian (Kementan) telah menetapkan harga jual minimal ayam pedaging hidup di tingkat peternak sebesar Rp 18.000 per kg, sebagai batas aman agar peternak tidak merugi dan tetap lanjut berusaha.

Langkah ini, menurut Kementan dalam keterangan resminya, dinilai penting untuk melindungi peternak sekaligus menjaga keseimbangan industri unggas nasional yang kini tengah mengalami surplus.

Menanggapi langkah tersebut, Herry Dermawan, Ketua Umum Gopan, menyambut baik langkah tegas pemerintah dalam menetapkan harga dasar ayam pedaging hidup. Baginya, ini adalah pencapaian besar dalam sejarah perjuangan peternak mandiri.

“Sudah 40 tahun saya di dunia perunggasan, baru kali ini ada keberpihakan nyata. Harga Rp 18.000 per kg memang belum ideal, tapi ini titik tolak penting karena sudah ada sanksi bagi pelanggar. Ini sejarah,” ungkapnya.

Herry juga memastikan bahwa kebijakan ini mulai terlihat dampaknya di lapangan. Perusahaan yang membeli di bawah harga Rp 18.000 per kg telah dikenai sanksi.

“Ini bukti bahwa pemerintah serius. Tidak ada lagi ruang untuk praktik yang merugikan peternak. Kami di Gopan siap mengawal dan mengawasi implementasi kebijakan ini agar tetap konsisten,” tambahnya.

Muchlis Wahyudi, Sekjen Pinsar, menyatakan pihaknya berkomitmen mendukung arahan pemerintah. “Kami mendukung pemberlakuan harga ayam pedaging minimal Rp 18.000 per kg sehingga dapat mengayomi semua pihak dan terus mengawal pelaksanaannya,” ucapnya.

Sementara itu, Agung Suganda, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, mengatakan bahwa pihaknya ingin kolaborasi dengan asosiasi terus ditingkatkan, terutama dalam menjaga harga ayam pedaging tetap stabil, agar peternak mendapat harga yang layak.

Upaya lainnya dari Kementan

Upaya konkret lainnya yang dilakukan Kementan adalah penerbitan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2024.

Regulasi ini mewajibkan perusahaan pembibit termasuk integrator membagi distribusi anak ayam (DOC final stock) secara seimbang — 50% untuk keperluan internal dan 50% sisanya ke eksternal yaitu peternak mandiri.

Kementan juga menyoroti tantangan daya serap pasar yang belum optimal. Surplus daging ayam nasional yang mencapai 400 ribu ton, yang kemudian memunculkan fenomena ‘ayam king kong’ karena belum terserap maksimal.

Solusi yang sedang didorong adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui pembentukan lebih dari 8.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) hingga 2025. Program ini diperkirakan bisa menyerap puluhan ribu ton daging ayam dari peternak nasional.

Agung juga menekankan pentingnya distribusi yang merata. Saat ini, produksi ayam masih terkonsentrasi di tujuh provinsi yang utamanya Jawa, sementara daerah lain justru kekurangan pasokan.

“Dalam jangka pendek, kita harus mendorong kerja sama dengan BUMN, BUMD, dan asosiasi agar surplus bisa disalurkan ke daerah yang defisit. Jangka panjangnya, kita perlu mengembangkan peternakan ayam di wilayah-wilayah yang belum mandiri,” terang Agung.

Surat himbauan dan sanksi administratif

Perihal harga ayam pedaging hidup, kata Agung, harga sempat menyentuh titik terendah pada April 2025 dan kembali turun di bawah Rp 18.000 per kg pada minggu ke-4 Juli 2025, terutama di wilayah Jawa Barat dan Banten.

“Kami sudah mengeluarkan Surat Himbauan Nomor B-12/PK.230/F/06/2025 untuk menjaga harga minimum. Tapi implementasinya masih belum konsisten, bahkan ditemukan penjualan diam-diam di bawah harga,” sambungnya.

Lebih lanjut, kata Agung, kondisi ini diperparah oleh penumpukan ayam jumbo (berat 3kg ke atas per ekor) yang diperkirakan melebihi 2,5 juta ekor di kawasan Jabar-Banten. Penumpukan ini menyebabkan stagnasi distribusi dan mendorong penurunan harga.

Untuk itu, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengeluarkan Surat Himbauan Percepatan Penyerapan Ayam Pedaging Hidup Nomor B-256/PK.230/F.2/07/2025 yang menekankan percepatan panen, penyesuaian produksi, peningkatan serapan rumah potong hewan unggas, serta penguatan koordinasi lintas daerah dan fungsi.

“Saya minta semua pihak—baik integrator maupun peternak mitra—taat pada harga jual minimum Rp 18.000 per kg. Pemerintah juga akan memperkuat pengawasan terhadap praktik kemitraan yang tidak adil, termasuk mengoordinasikan indikasi praktik persaingan usaha tidak sehat dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kita harus jaga stabilitas perunggasan ini berkeadilan kepada peternak dan memiliki daya saing serta berkelanjutan,” tegas Agung.

Terhadap ketidaktaatan, pemerintah menegaskan akan menjatuhkan sanksi administratif termasuk pencabutan izin usaha, penangguhan pemberian rekomendasi, serta bentuk sanksi lainnya sesuai kewenangan dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Penyerapan ayam pedaging

Hary Suhada, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, memaparkan bahwa sebagian perusahaan integrator tak mampu menyerap ayam karena keterbatasan kapasitas rumah potong hewan unggas dan jalur distribusi pemasaran yang bergantung pada sistem broker.

“Ketimpangan ini memukul peternak mandiri. Kami telah menerbitkan surat himbauan pada 29 Juli 2025 lalu agar dilakukan percepatan panen, penyesuaian produksi, optimalisasi serapan, dan perbaikan distribusi. Semua ini perlu dijalankan bersama agar pasar tidak stagnan,” ujarnya.

Ia menambahkan pentingnya mencari solusi distribusi yang tidak mengganggu kestabilan harga di wilayah lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Para pimpinan dari perusahaan perunggasan menyatakan komitmen mereka untuk mendukung dan mematuhi kebijakan pemerintah termasuk himbauan harga ayam pedaging minimal. Terhadap penumpukan ayam jumbo di kandang mitra, segera mereka tuntaskan penyerapannya dengan menggandeng rumah potong hewan unggas eksternal yang bisa memotong ayam berukuran lebih dari 3kg per ekor.

PDF
Exit mobile version