Site icon aviNews, la revista global de avicultura

Murah di pasar, pahit di kandang: Saat peternak rakyat terjepit harga

Escrito por: Kusnan
PDF

Harga karkas ayam potong di pasar tradisional saat ini hanya Rp 27.000 per kg. Bagi konsumen, ini jelas kabar baik karena harga daging ayam menjadi terjangkau.

Namun, di balik angka tersebut, tersimpan kisah getir para peternak rakyat yang berjuang mempertahankan hidup di tengah tekanan pasar.

Fakta konversi ayam hidup ke karkas

Dalam industri perunggasan, konversi dari ayam hidup (live bird/LB) ke karkas memiliki parameter tertentu.

Di tingkat rumah potong ayam (RPA), untuk menghasilkan 1kg karkas dibutuhkan konversi sekitar 1:1,6. Angka ini dipakai pelaku RPA untuk menghitung harga pokok produksi (HPP) karkas agar tetap mendapatkan margin.

Namun, di tingkat peternak, HPP dihitung berdasarkan biaya produksi ayam hidup, dengan rata-rata konversi pakan (feed conversion ratio/FCR) sekitar 1,5-1,6. Artinya, untuk menghasilkan ayam hidup siap potong seberat 1,6-1,8 kg, dibutuhkan pakan 2,4-2,8 kg.

Perbedaan parameter ini penting dipahami agar tidak terjadi kesalahpahaman saat membicarakan harga di rantai pasok.

Tekanan harga di lapangan

Jika di tingkat pengecer harga karkas hanya Rp 27.000 per kg, hampir dapat dipastikan harga riil LB di tingkat peternak hanya sekitar Rp 16.000-17.000 per kg.

Dari sini pun, peternak masih harus memotong biaya transportasi, perantara, dan potong RPA (bila tidak menjual langsung).

Pada akhirnya, harga yang diterima peternak berada jauh di bawah HPP yang kini berkisar Rp 19.500-21.000 per kg.

Penderitaan peternak rakyat

Bagi peternak rakyat, ini bukan sekadar hitungan angka, tapi realitas pahit sehari-hari.

Mereka membeli anak ayam umur sehari (day old chick/DOC) dengan harga yang melambung tinggi, pakan yang tidak murah dengan kecenderungan terus naik, dan obat-obatan serta biaya operasional (BOP) yang tak bisa dihindari.

Setiap hari mereka berjibaku di kandang memberi makan, membersihkan, menjaga suhu, hingga memastikan ayam tetap sehat. Semua itu menguras waktu, tenaga, dan modal.

Namun, ketika masa panen tiba, harga ayam hidup justru anjlok di bawah HPP. Mereka dipaksa ikut ‘perang harga’ melawan raksasa integrator yang menguasai dari hulu ke hilir dari pembibitan, pakan, hingga distribusi.

Ibarat semut kecil yang berusaha bertahan di bawah injakan kaki gajah, peternak rakyat makin terdesak, terimpit, dan kehilangan ruang hidup di pasar yang seharusnya menjadi tempat mereka berdiri tegak.

Dampak dan ancaman

Peternak rakyat mandiri umumnya berskala kecil hingga menengah, sehingga biaya produksinya lebih tinggi dibanding perusahaan integrator.

Mereka juga tidak punya fasilitas penyimpanan dingin (cold storage), membuat mereka terpaksa menjual cepat ketika harga sedang rendah. Jika kondisi ini dibiarkan, ribuan peternak rakyat berisiko gulung tikar.

Dampak jangka panjangnya akan lebih parah, yaitu pasar ayam segar akan dikuasai segelintir pemain besar, dan pada akhirnya, harga di tingkat konsumen bisa melonjak tanpa kendali.

Perlunya intervensi kebijakan

Pemerintah perlu hadir melalui kebijakan yang melindungi harga di tingkat peternak, seperti penerapan harga acuan pembelian (HAP) yang realistis dan penegakan aturan rantai pasok.

Pembenahan distribusi, transparansi harga di tiap level, serta penguatan koperasi peternak adalah langkah strategis yang bisa diambil.

Musyawarah Garda Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) yang baru-baru ini digelar menjadi momentum penting bagi peternak rakyat untuk menyuarakan aspirasi.

Namun, suara tersebut perlu diterjemahkan menjadi kebijakan nyata yang berpihak pada keberlanjutan usaha rakyat.

Kesimpulan

Harga karkas murah di pasar memang menggembirakan konsumen, tetapi jika di balik itu harga riil LB di tingkat peternak hanya Rp 16.000-17.000 per kg, maka kita sedang mengorbankan tulang punggung ketahanan pangan nasional.

Rantai distribusi yang panjang melalui broker, pengepul, hingga pengecer menggerus keuntungan peternak.

Tanpa keseimbangan harga yang adil, kita berisiko kehilangan ribuan peternak rakyat, dan pasar akan sepenuhnya dikuasai oleh segelintir pihak besar. Murah di meja makan tidak boleh dibayar dengan kebangkrutan di kandang.

PDF
Exit mobile version