15 Agu 2025
Harga ayam di bawah HPP bikin peternak makin terpuruk
Diusulkan agar ada kebijakan harga acuan pembelian (HAP) yang realistis dan benar-benar ditegakkan di lapangan.
Harga karkas ayam di pasar saat ini dinilai rendah, berada di kisaran Rp 27.000 per kg. Namun harga ayam hidup di kandang jatuh jauh di bawah biaya produksi, membuat peternak merasa terdesak. Mereka harus jual rugi tiap kali panen.
Menurut Kusnan, perwakilan dari Perhimpunan Peternak Rakyat Mandiri Indonesia (PER-MINDO), harga ini jauh dari ideal. Jika harga di pasar senilai itu, maka bisa dipastikan harga ayam hidup (live bird/LB) di kandang hanya sekitar Rp 16.000-17.000 per kg.
“Padahal HPP (harga pokok produksi) kami sekarang ada di kisaran Rp 19.500 sampai Rp 21.000 per kg,” ujar Kusnan.
Hasil panen jauh dari impian
Menurutnya, kerugian ini bukan sekadar angka. Para peternak kecil harus berjibaku setiap hari – memberi makan, menjaga suhu kandang, memantau kesehatan ayam, hingga bersih-bersih kandang, demi bisa panen. Namun saat panen tiba, hasilnya justru jauh dari impian.
“Peternak rakyat itu modalnya pas-pasan, tenaganya keluar banyak, tapi giliran panen malah tekor. Mau menangis rasanya,” ungkap Kusnan.
Parahnya lagi, peternak rakyat tidak punya banyak pilihan. Berbeda dengan perusahaan integrator besar yang punya cold storage (penyimpanan dingin) dan jaringan distribusi sendiri, peternak kecil harus segera menjual ayam mereka ke pasar agar tidak rugi lebih dalam.
Sering kali, mereka juga harus melewati rantai distribusi yang panjang, dari broker, ke pengepul, lalu ke rumah potong ayam (RPA), baru ke pasar.
“Kalau tidak dijual cepat, ayam tambah besar dan makin boros pakan. Tapi kalau dijual, ya harganya dipermainkan. Peternak itu seperti semut yang diinjak kaki gajah,” ucap Kusnan.
Perbedaan konversi
Ia menjelaskan, perbedaan konversi ayam hidup ke karkas juga membuat persepsi harga sering salah kaprah. Di tingkat RPA, konversi sekitar 1:1,6 artinya 1,6kg ayam hidup menjadi 1kg karkas.
Sementara di kandang, peternak melihat dari sisi FCR (feed conversion rasio atau konversi pakan), yakni butuh 2,4-2,8 kg pakan untuk menghasilkan ayam hidup 1,6-1,8 kg.
“Yang di RPA hitung margin dari karkas, kita peternak hitung dari biaya pakan dan bibit. Itu beda banget. Jadi jangan disamakan,” tegasnya.
Masalah semakin pelik karena harga DOC (day old chick – anak ayam umur sehari), pakan, hingga vitamin dan obat-obatan terus naik.
Kusnan menyebut, peternak rakyat makin tak punya daya saing melawan integrator besar yang menguasai semua lini, mulai dari pembibitan, pakan, pemotongan, hingga distribusi.
“Pasar sekarang dikuasai segelintir pemain besar. Kita cuma bisa menyempil di sela-sela. Lama-lama bisa punah kalau begini terus,” ujarnya.
Harapan PER-MINDO
PER-MINDO mendorong agar pemerintah segera turun tangan. Kusnan mengusulkan agar ada kebijakan harga acuan pembelian (HAP) yang realistis dan benar-benar ditegakkan di lapangan.
Selain itu, transparansi harga dan distribusi juga harus dibenahi.
“Kalau tidak segera dibenahi, peternak kecil bakal berguguran. Dan kalau nanti pasar dikuasai segelintir pemain besar, siapa yang bisa jamin harga ke konsumen tetap murah? Sekarang murah, besok bisa melonjak,” katanya.
Ia juga menyinggung perlunya penguatan koperasi peternak agar bisa punya daya tawar dan efisiensi produksi lebih baik. Menurutnya, Musyawarah Nasional Gopan yang baru digelar harus jadi momentum untuk menyuarakan nasib peternak rakyat.
“Musyawarah itu penting, tapi yang lebih penting hasilnya. Suara kami harus diterjemahkan jadi kebijakan yang nyata. Bukan cuma rapat, terus hilang begitu saja,” kata Kusnan.