01 Mei 2025

Harga broiler anjlok lama, nasib peternak makin terdesak

Kondisi ini memberikan tekanan finansial luar biasa, terutama bagi peternak mandiri dan skala kecil yang tidak memiliki cadangan modal kuat.

Dalam beberapa pekan terakhir, para peternak broiler (ayam pedaging) di Indonesia menghadapi situasi yang sangat mengkhawatirkan.

Harga broiler hidup (live bird/LB) terus mengalami penurunan dan berada di bawah harga pokok produksi (HPP) selama lebih dari tiga minggu berturut-turut.

Kondisi ini memberikan tekanan finansial luar biasa, terutama bagi peternak mandiri dan skala kecil yang tidak memiliki cadangan modal kuat untuk bertahan menghadapi kerugian jangka panjang.

Harga jual broiler yang berada di bawah HPP berarti peternak menjual hasil produksinya dengan kerugian.

Jika situasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin banyak peternak akan gulung tikar karena tidak mampu lagi menutup biaya operasional yang terus berjalan.

Mulai dari pakan, vaksinasi, hingga tenaga kerja—semuanya memerlukan dana besar yang tidak bisa ditunda.

 

Berlanjut setelah iklan.

Pasokan berlebih dan daya serap konsumen yang lemah

Penyebab utama dari anjloknya harga broiler saat ini adalah ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan di pasar.

Populasi broiler yang siap panen membanjiri pasar dalam jumlah besar, sementara daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil pasca pandemi dan ketidakpastian global.

Situasi ini diperparah oleh tingginya jumlah broiler berukuran besar, yakni di atas 2,4 kg per ekor, yang sulit diserap pasar dalam waktu cepat.

Konsumen, baik rumah tangga maupun pedagang, cenderung memilih broiler berukuran kecil hingga sedang, karena lebih sesuai untuk konsumsi sehari-hari dan lebih ekonomis.

Akibatnya, broiler-broiler besar ini menumpuk di kandang, menambah beban biaya pakan dan operasional bagi peternak.

Upaya pemerintah belum menyentuh akar masalah

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sebenarnya telah mencoba merespon kondisi ini dengan melakukan serangkaian langkah.

Mulai dari kunjungan lapangan, pertemuan dengan pelaku usaha peternakan, hingga imbauan pengaturan populasi broiler, telah dilakukan dalam beberapa waktu terakhir.

Sayangnya berbagai upaya tersebut belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap kestabilan harga.

Masalah ini tampaknya bukan hanya soal fluktuasi musiman, melainkan sudah menjadi masalah struktural yang terjadi secara berulang setiap tahun.

Tanpa intervensi kebijakan yang bersifat jangka panjang dan menyeluruh, krisis harga broiler akan terus terulang, merugikan peternak dari waktu ke waktu.

 

Penyebab struktural ketidakstabilan harga broiler

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis dari berbagai sumber, terdapat sejumlah faktor mendasar yang secara konsisten menjadi penyebab turunnya harga broiler di Indonesia.

Berikut adalah uraian mendalam tentang enam penyebab utama yang kerap luput dari penanganan menyeluruh:

1. Peningkatan produksi menjelang hari besar

Siklus tahunan menunjukkan bahwa banyak perusahaan pembibitan meningkatkan produksi DOC final stock menjelang momen-momen hari besar keagamaan seperti Idul Fitri.

Langkah ini biasanya bertujuan memanfaatkan potensi peningkatan permintaan menjelang Lebaran.

Namun, strategi ini tidak selalu tepat sasaran.

Ketika ekspektasi pasar tidak terpenuhi—misalnya daya beli masyarakat tidak meningkat secara signifikan—pasokan broiler yang sudah diproduksi secara massal tidak terserap secara optimal.

Akibatnya, harga jatuh karena stok melimpah.

2. Kapasitas cold storage yang masih terbatas

Indonesia masih kekurangan fasilitas cold storage atau gudang pendingin yang memadai di sektor peternakan unggas.

Padahal, kehadiran cold storage sangat krusial untuk menyerap kelebihan produksi broiler.

Tanpa penyimpanan beku yang memadai, broiler yang sudah siap panen tidak bisa disimpan lama dan harus segera dijual, meski harganya rendah.

Keterbatasan ini membuat pasar tidak memiliki fleksibilitas dalam menyerap fluktuasi produksi, sehingga pada saat terjadi overproduksi, harga broiler terpaksa jatuh karena penawaran melebihi permintaan secara drastis.

3. Rendahnya serapan rumah potong hewan unggas (RPHU)

Sebagian besar broiler di Indonesia—sekitar 60-70%—masih dipasarkan dalam bentuk hidup melalui pasar tradisional.

Sistem ini membuat distribusi broiler menjadi kurang efisien, karena tidak semua daerah memiliki akses ke broiler hidup dalam kondisi baik.

Sementara itu, RPHU yang semestinya bisa mengolah broiler menjadi produk setengah jadi atau beku dengan kualitas standar masih belum dimanfaatkan secara maksimal.

Rendahnya serapan oleh RPHU menyebabkan peternak harus menjual broiler hidup dengan harga murah di pasar lokal, tanpa akses ke pasar yang lebih luas atau lebih modern.

4. Distribusi yang tidak merata dan biaya logistik yang tinggi

Distribusi produk unggas di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur logistik nasional.

Ketimpangan pembangunan antara wilayah barat dan timur Indonesia menyebabkan akses pasar tidak merata.

Wilayah yang mengalami surplus produksi sering kesulitan menyalurkan broiler ke daerah yang kekurangan pasokan, karena biaya transportasi dan pendinginan sangat tinggi.

Hal ini menjadi kendala besar bagi sistem distribusi nasional.

Sering kali, broiler yang berlimpah di satu daerah tidak bisa dijual ke daerah lain karena ongkos pengiriman tidak sebanding dengan nilai jual produk itu sendiri.

5. Spekulasi jangka pendek menjelang Hari Raya

Menjelang hari besar, sebagian pelaku usaha peternakan berupaya mengejar keuntungan tinggi dengan memperbanyak produksi dan menahan panen agar bisa menjual broiler pada saat harga tinggi.

Namun, orientasi jangka pendek ini justru memicu ketidakseimbangan pasokan dan harga setelah hari raya berlalu.

Ketika permintaan kembali normal, pasar langsung dibanjiri stok broiler yang sempat ditahan.

Akibatnya, harga terjun bebas karena pasar tidak mampu menyerap kelebihan stok tersebut secara cepat.

6. Ancaman penyakit unggas yang belum terkendali

Masalah kesehatan unggas juga menjadi faktor penting dalam kestabilan industri broiler.

Indonesia masih belum bebas dari berbagai penyakit unggas seperti Newcastle disease, avian influenza, dan lainnya.

Wabah penyakit dapat menurunkan efisiensi produksi, meningkatkan angka kematian broiler, serta menurunkan kualitas produk yang dihasilkan.

Selain itu, serangan penyakit dapat menyebabkan panen tidak seragam, yang kemudian menambah kesulitan dalam pemasaran broiler karena ukuran dan bobotnya tidak sesuai permintaan pasar.

Membangun solusi jangka panjang yang terintegrasi

Permasalahan yang dihadapi oleh industri broiler saat ini tidak cukup diatasi dengan kebijakan insidental.

Diperlukan pendekatan sistematis dan jangka panjang yang mencakup penguatan dari hulu ke hilir.

Beberapa langkah strategis yang bisa dipertimbangkan antara lain:

Penutup: Peternak tidak boleh terus jadi korban

Industri perunggasan memiliki kontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani nasional.

Namun, jika sistemnya tidak segera dibenahi secara komprehensif, maka para peternak—terutama skala kecil—akan terus menjadi korban dari siklus kerugian yang berulang.

Sudah saatnya seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku industri, maupun akademisi, duduk bersama menyusun peta jalan pembangunan industri broiler nasional yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Peternak bukan hanya bagian dari rantai produksi, tetapi juga pilar utama dalam ketahanan pangan Indonesia.


Artikel ini ditulis oleh drh Suriansyah MSi. Validasi informasi dan data dapat ditujukan ke penulis.

Terkait dengan Pasar

BERGABUNGLAH DENGAN KOMUNITAS UNGGAS KAMI

Akses ke artikel dalam PDF
Terus ikuti buletin kami
Dapatkan majalah dalam versi digital secara gratis

TEMUKAN
AgriFM - Podcast sektor peternakan dalam bahasa Spanyol
agriCalendar - Kalender acara di dunia peternakanagriCalendar
agrinewsCampus - Kursus pelatihan untuk sektor peternakan