23 Jun 2025
Keberlangsungan usaha peternak broiler mandiri kian tertekan
Harga ayam hidup terus mengalami penurunan drastis dalam 4 bulan terakhir, pasca lebaran Idulfitri 2025.
Harga ayam hidup terus mengalami penurunan drastis dalam 4 bulan terakhir, pasca lebaran Idulfitri 2025. Ini membuat keberlangsungan usaha peternak broiler mandiri makin tertekan.
Sugeng Wahyudi, Sekjen Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan), mengatakan harga ayam hidup di tahun ini jatuh di level ekstrem, meski sebenarnya fluktuasi harga ayam bukanlah sesuatu yang baru.
“Tahun lalu harga ayam hidup juga fluktuatif, tapi tidak seekstrem ini. Naik turunnya harga ayam hidup ini adalah sesuatu yang tidak asing. Cuma tahun ini turunnya ekstrem,” kata Sugeng kepada media lokal.
Ia juga mengungkapkan bahwa harga ayam hidup yang turun drastis ini sudah terjadi dalam empat bulan terakhir di tahun ini.
Harga di tingkat peternak
Berdasarkan perhitungan Sugeng, harga ayam hidup di tingkat peternak dijual fluktuatif pasca lebaran, yakni di kisaran Rp 11.000-15.000 per kg.
Adapun jika rata-rata harga ayam hidup dijual di level Rp 15.000 per kg, kerugian peternak diperkirakan bisa mencapai di kisaran Rp 5.400 per ekor.
Namun, menurutnya, kerugian yang dirasakan setiap peternak bervariasi, tergantung populasi broiler yang dipelihara.
“Jika peternak pelihara 10.000 ekor, maka kerugiannya Rp 5.400 dikali 10.000 ekor,” katanya.
Harga pokok baru
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menetapkan harga pokok produksi (HPP) ayam hidup menjadi Rp 18.000 per kg dari sebelumnya Rp 17.500. Kebijakan ini mulai berlaku per 19 Juni 2025.
Kebijakan HPP Rp 18.000 per kg ini diambil lantaran peternak yang menjerit imbas harga ayam hidup yang rata-ratanya dibanderol di level Rp 14.500 per kg. Harganya kian jatuh di bawah HPP.
Keputusan ini disambut baik oleh para pelaku peternak broiler dan diharapkan bisa terimplementasi dengan baik.
Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia (GPPU), menyebut penetapan HPP menjadi Rp 18.000 per kg bisa menggairahkan para peternak, termasuk menstabilkan harga DOC.
Namun, menurutnya, angka ideal untuk HPP ayam hidup berada di level Rp 19.000-20.000 per kg.
Meski begitu, GPPU berharap keputusan HPP menjadi Rp 18.000 per kg ini membuat para peternak tak lagi mengalami kerugian dan diperkirakan kenaikan HPP ini baru diterima beberapa hari ke depan oleh masyarakat.
“Hanya saja memang setiap perubahan itu pasti ada prosesnya. Tidak bisa seketika kayak membalikkan telapak tangan. Nah pasti ada perlawanan dari beberapa pembeli, karena naiknya kan begitu drastis,” kata Dawami kepada media lokal.
Di sisi lain, ia mengungkapkan selama ini peternak mengalami kerugian imbas harga jual yang anjlok di tingkat peternak. “Kalau sudah terlalu lama rugi seperti ini, peternak pasti menderita. Semuanya menderita, sampai ke pelaku industri juga menderita,” ujarnya.
Untuk stabilisasi harga
Sebelumnya, Agung Suganda, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, berharap penetapan HPP baru bisa menjaga stabilisasi harga dan keberlangsungan usaha broiler, terutama di Pulau Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.
“Harga Rp 18.000 ini adalah HPP atau harga minimal. Jadi kalau dijual di atas itu lebih bagus,” kata Agung kepada media lokal.
Dia menjelaskan, penetapan HPP ayam hidup menjadi Rp 18.000 ini berasal dari perhitungan rata-rata antara HPP Charoen Pokphand Indonesia dengan HPP peternak mandiri.
Ke depan, HPP di level Rp 18.000 ini akan secara bertahap mendekati harga acuan pembelian (HAP) di tingkat peternak seharga Rp 25.000 per kg. Hal ini sejalan dengan Peraturan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 6 Tahun 2024.
“Ada Peraturan Kepala Badan Nomor 6 Tahun 2024, di mana harga acuan penjualan ayam hidup di tingkat produsen itu Rp 25.000 per kg. Ini Rp 18.000, masih jauh dari Rp 25.000, masih ada gap Rp 7.000 lagi,” terang Agung.
Pangkas jalur distribusi
Di samping itu, Kementerian Pertanian juga akan memangkas jalur distribusi ayam hidup lantaran keuntungan yang dikantongi tengkulak bisa mencapai 67%.
Saat ini, Kementerian Pertanian bersama dengan kementerian/lembaga terkait tengah menyusun langkah untuk mengurangi rantai pasok ayam hidup.
Agung mengakui jalur distribusi broiler terlalu panjang ke tangan konsumen. Bahkan, ada campur tangan tengkulak di dalam pendistribusian ayam hidup ini.
“Saat ini rantai tata niaganya terlalu panjang dari mulai peternakan. Begitu dijual di peternakan, sampai ke rumah potong itu melalui banyak tengkulak. Ada di sana broker, kemudian pengepul, distributor 1, 2 dan seterusnya. Di sinilah porsi margin itu tentu akan bertambah terus,” ujarnya.
Berdasarkan kalkulasi Kementerian Pertanian, tengkulak mampu meraup keuntungan hingga 67% dari peternakan hingga ke tangan konsumen.
“Kami sudah coba menghitung dari mulai broker sampai dengan karkas yang dijual ke konsumen, karena dari rumah potong itu sampai ke konsumen itu ada pengepul juga, ada lapak lagi. Itu marginnya bisa 67%. Jadi itulah yang mau kita kurangi,” terangnya.
Agung menuturkan Kementerian Pertanian akan memangkas margin yang dikantongi tengkulak agar para peternak meraup untung. Dengan begitu, harga daging ayam di tingkat konsumen tidak melambung tinggi.
Disarankan bentuk koperasi
Kementerian Pertanian mendorong agar para peternak rakyat alias peternak mandiri membentuk koperasi atau bergabung ke dalam Koperasi Desa/Kelurahan (KopDes/Kel) Merah Putih untuk memasok daging ayam, sehingga akses distribusi menjadi lebih efisien.
“Jadi porsi yang 67% margin tadi itu bisa dikurangi hanya maksimum di 10%. Sehingga sisa margin tadi itu bisa diberikan kepada peternak kita, tetapi di sisi lain konsumen kita tetap mendapatkan harga karkas yang masih relatif wajar dan terjangkau. Itu yang kami harapkan,” terang Agung.
Nantinya, keberadaan koperasi juga bisa sebagai perantara untuk memasok kebutuhan dapur Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).